Rabu, 26 Oktober 2011
JK Rowling Mendapat inspirasi dari kematian ibu
HANYA satu dekade lebih, Joanne “Jo” Rowling (lebih dikenal sebagai JK Rowling) berganti rupa; dari seorang sekretaris di London menjadi penulis pertama yang masuk kategori miliuner.
Jo bahkan lebih kaya daripada Ratu Elizabeth II! Dialah otak di balik waralaba sukses Harry Potter (HP). Tujuh bukunya menjadi fenomena, terjual lebih dari 400 juta kopi dalam 69 bahasa, tersebar di 200 negara. Buku terakhir (Harry Potter and the Deathly Hallows) yang rilis Juli 2007, menjadi buku paling cepat terjual sepanjang masa, dengan rekor 8,3 juta kopi di 24 jam pertama penjualannya. Di bioskop, fans tak pernah surut hampir setiap tahun menonton film HP paling anyar. Sepanjang sejarah Hollywood, inilah film waralaba paling laris dengan perolehan 5,3 miliar dollar dan masih terus bertambah.
Yang juga terhitung baru, theme park di Universal Orlando, Florida, yang dibuka musim panas 2010. Di Taman Bermain Wizarding World of Harry Potter, para pembaca buku dan penyuka film HP bisa menelusuri sekolah sihir Hogwarts, menyelamatkan diri dari serangan naga, sampai mencicipi minuman seru yang sebelumnya hanya bisa dibayangkan rasanya.
Kesuksesan Jo pantas membuat banyak orang penasaran. Jo tidak terlalu terbuka, ia tak ingin kehidupan pribadinya terusik. Tapi bukan Oprah (Winfrey) namanya jika tidak mampu menembus pertahanan Jo. Si Ratu Talk Show ini terbang ke Skotlandia, menemui Jo di Hotel Balmoral di Edinburgh. Hotel yang sama tempat Jo menuntaskan cerita HP. Wawancara berlangsung santai, sesekali keduanya bergantian menyeruput teh yang tersaji. Jo memuji pendekatan Oprah mewawancarai tamu-tamunya, termasuk dirinya yang merasa sedang mengobrol santai. Oprah memuji kesederhanaan Jo, juga bagaimana ia menjalani hidupnya dengan tenang, meski dengan kekayaan melimpah. Padahal belasan tahun sebelumnya, Jo masuk kategori miskin. Ia hanya sedikit lebih beruntung daripada tunawisma.
Saat ini, Jo bilang hadiah terbesar yang didapat dari uang yang banyak adalah terbebas dari rasa khawatir. “Jika Anda pernah miskin, Anda tak akan pernah menganggap sepele rasanya tak perlu mengkhawatirkan sesuatu,” cetus Jo. Dari tak punya apa-apa hingga bisa membeli apa saja sempat membuat Jo terkaget-kaget. Bahkan hingga kini ia masih belum sepenuhnya memahami. “Sebagai penulis, tak pernah terlintas dalam pikiran jika saya sukses, akan ada fotografer berlensa (kamera) begitu panjang yang memotret saya memakai bikini di pantai. Tak pernah ada dalam benak saya,” cetus ibu 3 anak ini. “Saya jelas tidak siap dan sempat ketakutan.”
Demam Harry Potter mendunia. Di mana saja Jo muncul, ia disambut banyak orang. Jo merasa seperti The Beatles. “Kecuali mereka berempat, jadi kalau ada apa-apa tinggal tanya kepada anggota lain. Lha saya tak bisa berbagi dengan siapa pun. Tekanannya demikian besar,” beber Jo. Jo baru menyadari demam HP saat ia memulai tur buku keduanya di Amerika. Di acara penandatanganan buku, ia menghadapi ribuan fans yang histeris, wajahnya diterpa ratusan kilatan cahaya kamera, dan antrean yang mengular hingga beberapa blok. Sepanjang hari itu ia memberikan 2.000 tanda tangan dan pengantre masih terus mengalir. “Rasanya gila, saya bilang saya mencoba beradaptasi. Tapi ada situasi di mana saya hanya bisa pasrah.”
Menolak tawaran Michael Jackson
Jo pernah mengalami pasang surut kehidupan. Oprah memuji pidato Jo kala menerima gelar kehormatan di Universitas Harvard, 5 Juni 2008. Dalam pidatonya, Jo menyebut betapa besarnya manfaat kegagalan. “Tak mungkin hidup tanpa pernah gagal, kecuali Anda hidup sedemikian hati-hati sampai merasa tidak hidup (artinya sama saja dengan mati-red),” ungkap Jo di Harvard. Bicara kegagalan, apa yang kurang dialami Jo. Sepeninggal ibunya akibat penyakit multiple sclerosis, ia pindah ke Portugal, menikah, punya anak, cerai, pindah ke Skotlandia dengan anaknya. “Saya punya anak yang masih bayi dan saya miskin serta depresi,” kenang Jo yang enggan menceritakan pernikahan pertamanya. “Saya introspeksi, memikirkan pernikahan yang gagal, memikirkan hidup saya, mengapa itu semua terjadi. Dan 7 tahun kemudian, saya menemukan pria yang tepat untuk dijadikan suami,” tutur Jo kepada Oprah. Tahun 2001, Jo menikahi dokter anestesi Neil Murray di rumah mereka di Skotlandia. Kini mereka merawat 3 anak di Edinburgh.
Buku, film, hingga theme park, dari situ saja Jo bisa hidup tenang. Meski begitu Jo merasa harus melindungi merek Harry Potter. Ia pernah menolak tawaran Michael Jackson lho! Katanya, si Raja Pop ini mendekatinya untuk membuat musikal berdasarkan buku-bukunya. Tapi Jo tak sanggup menolak ketika Universal mengirim proposal untuk membuat theme park bertahun-tahun kemudian. Syaratnya hanya satu, harus luar biasa. “Ide-idenya menakjubkan. Kalau saya pembaca bukunya, saya pasti ingin segera ke sana.”
Saya bisa bikin buku ke-8
Jo menulis buku pertama 6 bulan sebelum sang bunda meninggal. Tapi ia tak pernah punya kesempatan bercerita kepada ibunya; ini salah satu penyesalan terbesarnya dalam hidup. Bukan suatu kebetulan jika petualangan Harry adalah menghadapi kematian dalam berbagai bentuk -- makna kematian, artinya bagi yang ditinggalkan, dan seperti apa rasanya selamat dari maut. “Jika Ibu tidak meninggal, saya rasa tidak berlebihan jika saya bilang tak akan ada HP. Bukunya seperti itu karena Ibu meninggal, karena saya mencintainya, dan dia meninggal.”
Ditinggal ibu, Jo mengalami depresi. Periode ini menginspirasi Dementor, makhluk yang menyedot kebahagiaan manusia. “Sangat sulit menjelaskan depresi pada orang yang belum pernah mengalaminya, karena tidak sama artinya dengan kesedihan,” terang Jo. “Saya tahu sedih, saya bisa menangis dan merasakannya. Tapi depresi itu ketiadaan perasaan -- rasanya hampa. Itulah Dementor.”
Tuntas cerita HP, bukan berarti Jo ”mematikan” karakternya. “Semuanya masih ada dalam pikiran saya. Saya bisa saja menuliskannya. Saya bisa bikin buku ke-8, 9, 10, mudah saja,” tegas Jo. Oprah menyambar dengan pertanyaan, maukah Jo menuliskannya lagi? “Saya tak akan bilang tidak. Saya tidak merasa harus menuliskannya. Saya suka menulis cerita ini, tapi saya merasa telah selesai. Tapi Anda tak pernah tahu apa yang nanti terjadi.”
Perpisahan dengan HP menyisakan kesedihan luar biasa. Jo mengaku menangis tak terkendali. Satu-satunya tangisan seperti ini adalah ketika ibunya meninggal. “Bukan hanya (berpisah) dengan dunia Harry, tapi juga disiplin kerja, struktur kerja yang biasa saya jalani. Saya tahu saya masih bisa menulis tentang Harry, tapi saya harus menyelesaikannya dan menyempatkan untuk berkabung.”
Satu pelajaran paling menonjol dalam buku HP adalah cinta. Cinta yang paling berkuasa. Inilah tema sentral dalam semua buku HP. “Cinta menang. Ketika seseorang mati, cintanya tidak begitu saja hilang. Itu menjadi bagian yang terus ada dalam diri kita.”
Jo tak menyangkal punya kebanggaan tersendiri akan HP. Tapi ini waktu yang tepat untuk melanjutkan bab baru dalam hidupnya. Dia akan terus menulis karena tak bisa berhenti. Meski tak merasa harus menuliskan sesuatu yang melampaui kesuksesan HP. “Rasanya menakjubkan. Sekaligus gila,” ucap Jo. “Saya senang bisa meninggalkan bagian dari kegilaan itu. Tapi saya juga senang begitu banyak orang membaca HP. Saya mendedikasikan buku terakhir kepada mereka yang paling saya sayangi dan kepada pembaca yang mengagumi Harry.”***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar