Sabtu, 12 November 2011

Rayuan Gombal

cwo : bapak kamu polisi ya?
cwe : kok kamu tau
cwo : karna kamu sudah menilang hatiku

cwo : kamu suka berlayar ya ?
cwe : kok tau
cwo : karna kamu sudah berlabuh dihatiku

cwo : bapak kamu jualan pulsa ya?
cwe : iy, kok tau
cwo : karna kamu sudah mentransfer cinta ke hatiku

cwo : ada kebakaran ?
cwe : dimana ?
cwo : dihatiku
cwe : sini biar aku padamkan ...
cwo : pake apa ?
cwe : pake hatiku

cwo : dirumah kamu ada AC ya ?
cwe : kok tau
cwo : karna bila kamu dekat aku, hatiku terasa sejuk

cwo : bapak kamu jualan sate ya ?
cwe : kok tau
cwo : karna kamu sudah menusuk-nusuk hatiku

:)

Minggu, 06 November 2011

Laskar Muda Pencinta Alam (LAMPEA) SMAN 1 MUARA ENIM


Laskar Muda Pencinta Alam (LAMPEA)

Laskar Muda Pencinta Alam (LAMPEA) diresmikan pada tanggal 19 Nopember tahun 1997, di SMU Negeri 1 Muara Enim (sekarang SMA Negeri 1 UNGGULAN Muara Enim). Tidak seorang pun dari anggota LAMPEA yang mencatat tanggal tersebut di dalam buku tulisnya. Tanggal ini disebutkan oleh Nyayu Risantica Damalini (Santi) -sekretaris pada pengurus pertama- secara spontan dan meyakinkan pada sesi pembukaan acara syukuran ulang tahun pertama LAMPEA di kediaman Santi di Jalan Pramuka IV, kota Muara Enim di penghujung tahun 1998. Sebagai sekretaris organisasi, data yang dipegang Santi boleh dipercaya validitasnya.

Pertengahan tahun 1997, Kgs AS Andryan (Aan), seorang siswa kelas 3 IPS 2 berfikir untuk membangkitkan kembali spirit euforia sebuah geng (komunitas persaudaraan berbau primordialisme siswa asal Tanjung Enim) yang sudah lama mati: ASTEK (Anak SMANSA Tanjung Enim Kompak), dengan cara mendirikan bentuk lain yang lebih dewasa dan bisa diterima oleh berbagai unsur di sekolah. Selanjutnya seiring perjalanan waktu angan-angannya tersebut mengarah kepada pembentukan ekstrakurikuler. Sebuah klub pencinta alam.

Aan, PMR, dan ASTEK

Sosok Aan tidak sepopuler sebagaimana tokoh-tokoh OSIS atau PASKIBRA. Siswa biasa yang tidak begitu menonjol berprestasi namun tidak pula memiliki catatan buruk. Yang mengenal beliau dengan baik paling-paling hanya pemilik dan pengunjung kantin SADOET, atau Pak Zaibin S Pd M Si (baik karena aktif di PMR maupun karena sering bolos dari upacara bendera). Lahir dari keluarga bergaris etnis Palembang tulen yang saat itu berdomisili di Tanjung Enim. Aan di SMA dikenal sebagai seorang loyalis di Palang Merah Remaja (PMR) SMU Negeri 1 Muara Enim.

Pada ekspedisi pertama LAMPEA ke kawasan wisata alam Air Tilam di Tanjung Enim, untuk membantu dirinya melaksanakan proyek tersebut Aan banyak meminjam anggota senior (siswa kelas dua) dari PMR. Terdapatlah nama-nama anggota PMR yang terlibat penuh sebagai panitia seperti Yosrizal, Helwinsyah, dan Teddy Sipit (di samping sekitar belasan lainnya yang tidak dapat lagi saya sebutkan).

Saat perjalanan pertama ke Air Tilam itulah, desas-desus bahwa LAMPEA dimaksudkan sebagai keturunan langsung dari ASTEK seperti mendapatkan pembenaran. Sebelum memasuki pintu rimba di kawasan Kramat, semua peserta diajak mampir dulu ke pemakaman Tiang Enam, Talang Jawa, Tanjung Enim, untuk berziarah ke makam Patra Hardiantoro. Semasa hidupnya, Patra adalah siswa yang dikenal rajin nongkrong bersama anak-anak reruntuhan ASTEK. Patra juga anggota PMR yang rajin. Pada kesempatan itu, Patra disebut-sebut (entah siapa yang menyebut, saya tidak berada di sana waktu itu) sebagai salah seorang pilar yang hilang dari cikal bakal LAMPEA.

Walapun hingga saat ini tidak pernah ada penjelasan eksplisit mengenai makna dari pernyataan tersebut, tetapi spekulasi yang beredar di antara siswa semakin santer -bahwa itulah bukti yang jelas bahwa LAMPEA merupakan reinkarnasi dari ASTEK.

Saat itu kenangan dan haru biru akan masa kejayaan ASTEK yang sudah tidak berbekas di sekolah ini memang seperti disadari akan segera terbang tertiup angin, seiring dengan akan lulusnya siswa kelas tiga (siswa SMA yang masuk tahun 1995). “Jika harus mati berkalang tanah, maka buatlah lingga menanda pusara”, demikianlah kira-kira memengerti kelahiran LAMPEA sebagai pendirian monumen tanpa aksara bagi sejarah ASTEK. Lantas segenap alumni SMA yang pernah menghabiskan sebagian hidupnya bersama ASTEK, apakah memahami juga bahwa LAMPEA adalah batu nisan dari kegagahan mereka? Saya angkat bahu. Dengan atau tanpa bukti otentik mengenainya, LAMPEA tetap harus menjadi sebuah klub pencinta alam yang dicintai dan dimiliki segenap anggotanya -yang berasal dari berbagai penjuru kota Muara Enim.

LAMPEA sendiri kemudian cukup banyak membukukan perjalanan ke Air Tilam, dan beberapa kali masih meneruskan tradisi ziarah tersebut, sampai akhirnya tidak lagi (ketika Aan dkk sudah lulus, dan kami mulai memberanikan diri menghapus pengkultusan di organisasi ini).

Pengumpulan Massa dan Identifikasi Diri

Aan memulai pengumpulan peminat konsep klub pencinta alam tersebut dengan berpresentasi di hadapan siswa kelas satu di enam lokal. Mengenakan seragam sekolah putih abu-abu lengkap dengan dasinya (tanpa sedikitpun atribut Pencinta Alam), Aan seorang diri memperkenalkan diri sebagai wakil dari sebuah organisasi ekstrakurikuler baru bernama Laskar Muda Pencinta Alam. Aan juga dengan gamblang dan lihai menjelaskan garis besar dari kegiatan pencinta alam -yang masih terdengar aneh di telinga.

Belakangan diakui oleh Aan, pada saat berbicara pertama kali tentang organisasi ekstrakurikuler tersebut, sesungguhnya Laskar Muda Pencinta Alam itu sendiri belum ada. Jadi Aan saat itu sedang mewakili sesuatu yang baru melayang di alam pikirannya sendiri. Hebatnya, sebagian besar pendengarnya tersihir. Aan memang seorang pembicara yang baik.

Saat itu saya antusias menyimak paparan Aan di depan kelas, tapi tidak ingin mendaftar. Sebagai ketua kelas, saya hanya membantu Aan mengumpulkan data teman-teman yang ingin ikut. Waktu pendaftaran yang disediakan memang dikatakan dibatasi hanya sampai tanggal sekian dan tanggal sekian, namun kenyataannya, berkali-kali batas waktu tersebut diperpanjang lagi.

Rekrutmen awal terbilang cukup berhasil dengan banyaknya siswa yang mendaftar. Pada suatu siang yang dijanjikan, telah berkumpul lebih dari 40 orang peserta dari kelas satu di lapangan tenis. Kebanyakan dari peserta ini adalah siswa-siswa yang belum ikut ekskul. Sebagian lainnya adalah yang sudah bergabung dalam PRAMUKA dan PMR.

Sedangkan dalam bagian lain sebelum pengumpulan tersebut, telah sering diadakan pertemuan-pertemuan kecil di Green House yang dihadiri oleh pendaftar-pendaftar di gelombang pertama. Green House adalah rumah kaca -meskipun tidak ditutupi dengan kaca melainkan kasa berwarna hijau, yang diisi berbagai tanaman hias. Dalam ruang lingkup lingkungan sekolah, koleksi tanaman di Green House adalah yang terlengkap di SMU Negeri 1 Muara Enim, dibandingkan dengan lokasi-lokasi lain. Melaksanakan banyak pertemuan di Green House pada waktu-waktu tersebut dimaksudkan Aan sebagai identifikasi diri, sebagai usaha untuk menyatukan citra yang disiarkan dengan citra yang dapat dilihat langsung oleh massa. Bahwa Pencinta Alam tentu saja harus mendahulukan arti penting dari namanya tersebut, sebelum mempertontonkan hal-hal lain. Aan sedang menjalankan propaganda yang sangat teliti.

Dalam pertemuan-pertemuan kecil itu, acara dimulai dengan menyapu lantai Green House dan menyirami tanaman. Anak laki-laki mengambil air dari bak di toilet kantor guru, atau dari tempat wudlu musola Thaliburahman yang letaknya persis di atas Green House. Selesai berbakti, Aan mengumpulkan yang hadir untuk memberi ceramah-ceramah menyegarkan tentang hakikat pencinta alam dan kesadaran peduli lingkungan. Doktrin-doktrin pencinta alam dengan gaya bersahabat di bawah rindang pohon akasia setelah capai bekerja, adalah sebuah oase di tengah kejenuhan pada sistem ekskul yang dikuasai hierarkisme dan demam akan militeristik.

Komunitas Green House Awal-awal

Green House sebelumnya bukanlah tempat publik bagi siswa. Jika ada yang menyukai tanaman, biasanya akan bergabung dengan guru penanggung jawab yang memegang kunci Green House. Sejak adanya proyek perintisan LAMPEA, Aan pun mengantongi izin untuk mengakses Green House bagi embrio LAMPEA. Para peserta mulai dibagi tugas merawat Green House dengan sistem piket. Walaupun demikian, setiap pagi -kecuali berhalangan- hampir semua peserta selalu hadir sukarela.

Beberapa nama masih dapat saya kenang sebagai warga Green House pada waktu-waktu awal tersebut Adalah Martin, gadis cantik berambut pendek asal Talang Jawa, Tanjung Enim, yang selalu hadir di Green House setiap kali kita sedang berbakti bersama. Martin adalah siswa kelas dua yang sejak dulu sudah rajin beraktivitas di Green House bersama Bu Retno (guru Biologi), dan dia tidak berminat dengan LAMPEA.

Dari kelas satu (peserta LAMPEA) adalah Septi, Susi Apriyani (Susi), Marliliani (Lili), Erwin (Erwin Cina), Muhammad Effendi Kurniawan (ME/Pepen), Nyayu Risantica Damalini (Santi), Patriansyah, Oscard, Agus Mahardeka, Fery Ardiansyah (Tile), dan sejumlah nama-nama lain yang benar-benar sudah tidak dapat saya ingat lagi.

Saat semakin mendekati hari H yang direncanakan untuk ekspedisi perdana (jalan-jalan), jumlah warga Green House relatif terus bertambah -karena pendaftar LAMPEA terus bertambah. Namun jumlahnya kembali normal setelah ekspedisi selesai.

Masa LAMPEA sebagai Perkumpulan

Jika dipetakan sekarang, inilah yang sedang dirancang oleh Aan pada saat itu:

Pertama, merancang kolam. Kedua, mencari bibit ikan. Ketiga, memberi umpan sang bibit dan mulai menyiapkan kolamnya termasuk membuka sistem pengairan dan pengadaan makanan alami. Jika ikan-ikan sudah mampu survive maka siap dimasukkan ke kolam, sebelum ditinggal.

Setelah menawarkan konsep klub pencinta alam dan berhasil mengumpulkan sejumlah peminat pada tahap pertama (sebelum jalan-jalan), Aan tidak berhenti dengan langsung meresmikan merek baru dari ekskul tersebut, melainkan dengan giat terus mempersiapkan olah kemampuan pengelolaan organisasi bagi calon penerus cita-citanya. Masalahnya, siapakah calon-calon penerus tersebut? Aan masih terus mencari.

Aan kembali ke kelas-kelas menjajakan LAMPEA. Setelah ekspedisi pertama itu, banyak peserta yang merasa sudah cukup kiprahnya sampai di situ. Beberapa anggota PMR kembali ke seragam putihnya, dan beberapa pelajar sejati kembali memperdalam pantatnya di bangku kelas. Sebagian masih mau memenuhi panggilan berkumpul. Tapi di saat berkumpul kembali itulah, ada juga wajah-wajah baru yang sebelumnya tidak ada. Salah satunya adalah wajah saya ;D Tapi karena waktu itu pendaftarannya belum ditutup dan LAMPEA memang belum jadi apa-apa, saya menolak bila dicap oportunis.

“… perjalanan ke Air Tilam hanyalah gambaran awal dari semua yang menarik dan menyatukan kita dengan alam raya ciptaan Tuhan. Masih banyak lagi yang harus terlebih dahulu kita ketahui, kita latih dan amalkan, sebelum menjadi Pencinta Alam sejati …”, demikian Aan dalam salah satu sesi pertemuan di lapangan tennis menyemangati sisa-sisa calon laskar. Aan mulai memaparkan tujuan-tujuannya lebih transparan, termasuk skenario pembentukan organisasi ekstrakurikuler baru di bawah naungan OSIS. Aan juga mengutarakan dengan persuasif mengenai pentingnya LAMPEA memiliki sebuah landmark di sekolah ini. Pendeknya, Green House yang selama ini menjadi tempat anggota berbakti, harus segera dikuasai penuh dan diberi label LAMPEA.

Bagi saya, semakin banyak terlibat dengan banyak perkumpulan, akan semakin membuka cakrawala -dan itu menyenangkan. Saat itu saya sudah bergabung dengan 2 organisasi ekskul, jadi di LAMPEA saya tidak punya ambisi apa-apa. Tapi apakah demikian juga yang terlintas di benak Eko Susanto dan Dimas Rahadian Setiyaki? Saya agak heran juga karena kehadiran kedua dedengkot Pramuka itu di forum LAMPEA tiba-tiba seperti baru saya sadari.

Dalam banyak pertemuan yang sudah dijadwalkannya, Aan mulai menggembleng kami dengan materi-materi dasar kegiatan pencinta alam yang kadarnya mulai dalam. Dimulai dengan mengenal azas keberadaan dan menyadari posisi LAMPEA di tengah-tengah komunitas pencinta alam nasional, yaitu dengan menghapal dan mengamalkan butir-butir KODE ETIK PENCINTA ALAM SE-INDONESIA. Kemudian pengenalan Gunung Hutan, dasar-dasar survival, dan teknik dasar Rock Climbing. Semuanya selain dirinci secara pustaka, disimulasikan juga di pelataran sekolah. Jenis-jenis kegiatan alam lainnya seperti telusur gua, pendakian gunung non tropis, dan arung jeram hanya dibahas pada tatap muka di ruang kelas.

Sangat mengagumkan bahwa Aan terlihat sangat aktif dalam mencari dan menyuplai otak kami dengan bahan-bahan yang tepat tentang kegiatan alam bebas. Beberapa materi diktat dari Tim SAR PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) juga dicuplik. Keluar sedikit dari konteks yang baku, Aan memasukkan juga PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat) dari PMR sebagai materi andalan. Bahkan suatu ketika saat diadakan lomba PPGD menyambut hari K3 oleh PTBA di SMU PTBA, dengan bersemangat Aan ngotot menyiapkan 2 tim untuk mewakili LAMPEA.

Atas kesediaan semua peserta, untuk menggembleng mental dan fisik peserta sementara belum menemukan format yang tepat, peserta secara rutin diberikan senam karate oleh Agustin dan Freddy dari Khusin-Ryu Karatedo Indonesia (KKI) Tanjung Enim. Baik Agustin maupun Freddy juga adalah anggota PMR yang sudah akan lulus sekolah, seperti Aan.

Seperti yang lazim di ekskul yang lain, Aan menentukan bahwa untuk kenaikan tingkat menjadi senior harus lebih dahulu melewati semacam ujian massal. Setelah sekian banyak sesi latihan rutin berjalan dalam tahun itu, ujian dilaksanakan pada awal triwulan ke dua tahun 1998. Ujian berupa lintas alam berhalang-rintang yang rutenya dimulai dari sekolah, kantor lurah setempat, kantor dinas kehutanan, kuburan Cina, masuk jalan proyek sumur minyak (Jalan Petrosea), kemudian berbelok masuk hutan dengan pola memutar balik ke arah sekolah lagi –namun tentu saja melewati banyak objek-objek alam yang tidak ramah seperti rawa-rawa, semak belukar, dan beberapa pos pertanyaan. Secara keseluruhan saya menilai format ujian tersebut masih mencomot utuh-utuh dari apa yang dilakukan PMR -hanya dimodifikasi sedikit. Dan panitianya, lagi-lagi meminjam dari PMR (dengan seragam dan atribut PMR lengkap).

LAMPEA memasuki masa Organisasi

Beberapa saat menjelang EBTANAS 1998, Aan dkk akhirnya menggelar proses regenerasi dengan menyelenggarakan pembentukan organisasi dan pemilihan ketua. Proses advokasi ke jajaran guru dan OSIS rupanya juga sudah berhasil, yaitu sudah dikeluarkannya izin bagi LAMPEA untuk berdiri sebagai sebuah ekstrakurikuler resmi di SMU Negeri 1 Muara Enim. Sebagai guru Pembina ekstrakurikuler, telah ditetapkan Ibu Retno, sang Pembina Green House.

Selama itu LAMPEA sudah berjalan selama beberapa bulan dalam bentuk forum atau perkumpulan. Dan Aan telah memposisikan dirinya sebagai koordinator, bukan ketua (karena tidak ada kuorum yang pernah memilihnya).

Pembentukan organisasi dan pemilihan ketua berlangsung ketika peserta LAMPEA sudah tinggal setengah dari jumlah semula. Bahkan beberapa dari yang sudah ikut ujian pun mengundurkan diri dengan berbagai alasan, dan berbagai cara. Calon ketua yang akan dipilih adalah Saya, Eko Susanto, Agus Mahardeka, Muhammad Effendi Kurniawan, dan Arif Rahman (Alm). Saya menang tipis mengungguli Eko. Tapi saya sudah lupa bagaimana prosesnya waktu itu sehingga Eko kemudian justru tidak menjadi pengurus, dan Dimas yang selalu hadir di forum akhirnya mempertegas bahwa posisinya di forum hanya sebagai simpatisan -bukan anggota LAMPEA. Agus Mahardeka menjadi Ketua I, dan Ketua II adalah Muhammad Effendi Kurniawan. Eko kemudian tercatat aktif di Pramuka (saat kepemimpinan Muhammad Amri Siregar), dan di periode berikutnya menang dalam pemilihan ketua Gugus Depan 823-824 Gerakan Pramuka SMU Negeri 1 Muara Enim, menggantikan Amri.

Sungguh sebuah tantangan berat sekaligus keasyikan tersendiri memimpin LAMPEA. Bagaimana tidak, klub ini belum memiliki standar sama sekali. Semuanya harus selalu meniru kanan-kiri.Terlebih kami segera ditinggalkan senior yang akan lulus SMU. Dan saya akan menjadi ketua termuda dari semua ketua organisasi ekstrakurikuler yang ada (saya sudah terpilih di saat organisasi ekskul yang lain justru belum mengakhiri kepengurusan).

Lahirnya Kostum

Hal sepele yang kemudian berlarut-larut menjadi masalah adalah pembuatan kostum. Jauh-jauh hari sejak masa forum Green House, Aan telah mensosialisasikan rancangan kostum resmi LAMPEA, yaitu berupa kaos oblong berlengan panjang dengan syal hijau yang menggantung di leher. Mirip dengan kaos lapangannya PMR. Syal itu sendiri sudah lama dibagikan setelah perjalanan kedua ke Air Tilam pada tahun itu. Namun kaos yang dijanjikan belum kunjung dapat diambil dari tukang sablon, karena masalah keuangan kolektif. Padahal Aan sudah pergi.

Kaos itu akhirnya dapat diambil beberapa bulan kemudian. Namun inilah yang ternyata harus kami tertawakan sendiri. Rancangan itu memang pernah dibicarakan dengan kami. Tapi karena tidak dilibatkan dalam pemesanannya, secara umum kami merasa risi dan kurang sreg mengenakan kaos itu. Ukuran dan bahan yang digunakan, rasanya seperti tidak ber-standard. Badan saya yang bertulang besar ini seperti dipaksakan sekali menyusup ke dalam kaos itu. Akhirnya sebagian lengannya pun saya potong karena jika dipakai sebagaimana mestinya selalu terlihat menggantung di bagian pergelangan tangan. Selain tidak pantas dilihat, tidak nyaman juga mengenakannya.

Saya dan teman-teman terus memikirkan dan mencari-cari, bagaimana sebenarnya bentuk baku dari kostum resmi pencinta alam. Kalau Pramuka se-Indonesia memakai kemeja dan bawahan cokelat, PMR se-Indonesia memakai putih-putih, lalu Pencinta Alam se-Indonesia memakai apa? Sampai akhirnya bentuk ideal itu kami temukan pada pendakian perdana ke Bukit Serelo.

Kami baru saja memasuki pintu rimba, saat rombongan pendaki dari Gerakan Pencinta Alam SMU 10 Palembang rupanya baru turun dan berpapasan dengan kami. Melihat ransel dan syal yang kami kenakan, seperti melihat bagian lain dari komunitas yang sama, mereka antusias menyapa kami dengan gaya persahabatan yang … baru kali itu kami ketahui! Cara berjabat tangan yang khas, dan peneriakan salam LESTARI (padahal selama itu salam LESTARI yang diajarkan Aan terdengar janggal dan aneh, sehingga kami pun ogah-ogahan menggunakannya di sekolah). Namun di antara banyak hal baru yang kami lihat tersebut, pakaian yang mereka kenakan adalah yang paling menarik perhatian saya dan Oscard.

Bentuk kostum yang dikenakan GAPPALA tersebut segera menjadi bahan pembicaraan pertama kami di tengah-tengah hamparan kebun kopi tempat kami mendirikan kemah. Bahkan pembicaraan telah berkembang menjadi diskusi dan debat. Pepen yang saat itu mengenakan baju tentara tidak banyak berkomentar mengenai desain, tapi sangat keras kepala soal warna. Perdebatan berlanjut lagi di sekolah. Setelah melalui proses adu pendapat yang panjang mengenai bentuk dan warna, akhirnya kostum pertama dipesan di Pasar Inpres Muara Enim, untuk dipakai oleh anggota angkatan ke tiga. Anggota kelas dua yang selama itu merasa sudah terlanjur tidak pernah mengenakan kostum, sudah malas untuk ikut memesan. Sedangkan saya kebetulan sudah memiliki baju dengan desain dan warna yang sesuai kesepakatan.

Kostum tersebut disepakati berdesain kostum lapangan tentara, berlengan panjang, berwarna cokelat muda (seperti warna seragam karyawan PT Tambang Batubara Bukit Asam saat itu, di tahun 1999). Tag yang melekat di kemeja adalah name tag bordiran berwarna hijau muda, bertuliskan nama peserta yang dibalik dan nomor induk pesertanya. Atribut utama adalah syal, namun mengenai warna, ukuran dan logo, masih terus diperdebatkan.

Nama yang Dibalik pada Name Tag

Mengenai pembalikan nama pada Name Tag itu ada ceritanya sendiri. Setelah Aan dkk sudah tidak bersama kami lagi, sesekali kami meminta Kak Amril Norman (Kak Apen) untuk datang dan berbicara di hadapan anggota kami. Kak Apen adalah teman seangkatan kakak saya di SMA, mantan ketua OSIS, dan semasa kuliah di Yogyakarta sangat intens dengan kegiatan pencinta alam bersama MAPALA. Tentu saja kedatangannya ke forum kami sangat kami nantikan, karena dari mulutnya tentu akan keluar sangat banyak pengalaman-pengalaman, pelajaran, dan nasihat kepencintaalaman yang bisa diserap oleh anggota kami yang masih hijau-hijau.

Ceritanya, dalam perjalanan kami ke Bukit Serelo yang kedua kali, kami mengajak Kak Apen. Saat itu, Kak Apen mengenakan sebuah topi yang tampaknya adalah atribut resmi dari sebuah kegiatan sosial yang digelar oleh sebuah forum pencinta alam nasional. Di sisi topi tersebut terdapat tulisan bordir berbunyi "NORMAN AMRIL". Ini menarik perhatian saya, karena setahu saya nama asli beliau adalah "AMRIL NORMAN". Ketika saya tanyakan hal itu, beliau menjawab bahwa inilah kebiasaan para pendaki gunung dan penempuh rimba nasional, yaitu membalik nama belakangnya untuk diletakkan di depan. Aturannya begini, jika namanya terdiri dari dua suku kata, maka tinggal ditukar saja posisinya. Tapi jika terdiri dari tiga atau lebih suku kata, maka yang dirubah letaknya adalah suku nama pertama -untuk dipindahkan menjadi paling akhir. Untuk nama saya, hasil pembalikannya adalah ARYO HANDOKO ANTON. Jika namanya SENO GUMIRA AJI DARMA, maka hasil pembalikannya adalah GUMIRA AJI DARMA SENO.

Begitulah Kak Apen berceloteh, entah serius atau asal bicara -namun sepulang dari bukit segera kami amalkan mentah-mentah. Beberapa tahun kemudian setelah kuliah dan sering browsing internet, saya baru mengetahui kalau Indonesia ternyata pernah memiliki seorang tokoh pendaki yang sangat melegenda: almarhum NORMAN EDWIN dari Mapala UI. Saat mengetahui itu saya mengerenyitkan dahi, rasanya seperti diingatkan pada sesuatu …

Syal berlogo Rapeling dan Papan berlogo baru

Sebelum memesan syal pertama LAMPEA pada tahun 1997, Aan menunjukkan sebuah fotokopi potongan majalah yang memuat profil sebuah klub pencinta alam mahasiswa dari Sumatera Utara. Gambar yang hanya kelihatan kecil di dalam foto (karena tergambar di atas bendera yang dibentangkan puluhan orang) itu adalah gambar seorang pemanjat yang sedang menuruni tebing dengan berpegang pada tali. Dalam istilah panjat tebing, yang dilakukan oleh sosok di dalam gambar logo tersebut dinamakan rapeling.

Aan mengutarakan keinginannya, bahwa logo itulah yang ingin digunakannya sebagai logo LAMPEA di syal yang akan dibuat. “tidak akan terlalu mirip tapi ini ide dasarnya”, janji Aan. Semua setuju, atau lebih tepatnya memilih setuju daripada disuruh memikirkan ide lain.

Saat syal-nya dibagikan, klipping tersebut sudah hilang. Tapi saya yakin sekali dengan ingatan saya, dan saya tidak menemukan sedikitpun perbedaan antara gambar yang ada pada logo di potongan majalah dengan logo yang sekarang ada di syal kami, kecuali bahwa gambar rapeling sekarang berada di dalam lingkaran bertuliskan LASKAR MUDA PENCINTA ALAM.

Suatu ketika saat Bapak Jafrie Thalib baru diangkat menjadi Kepala Sekolah, beliau antara lain segera menginstruksikan agar semua organisasi ekstrakurikuler di sekolah membuat papan nama organisasi yang diberi logo dan nama resmi. Semua bahan berupa papan standard yang sudah jadi (tinggal di cat dan disablon) dan uang untuk membeli cat dan kuasnya sudah disediakan. Papan-papan itu nantinya akan digantung berjajar pada tiang khusus di depan kantor besar. Melihat ini sebagai peluang revolusi untuk memperbaiki kesalahan, saya memutuskan untuk menggambar sesuatu yang berbeda dengan logo di syal -meskipun tanpa melepaskan bentuk dasarnya. Papan itu dicat dasar warna hijau dan diberi gambar silhouette seseorang yang juga melakukan aktivitas rapeling. Namun gambar si pemanjat di zoom sedemikian rupa sehingga badannya terpotong oleh lingkaran di bagian pinggang. Gambar ransel diperbesar, dan kemiringan gambar diputar beberapa derajat ke arah putaran jarum jam. Hasilnya adalah sebuah gambar yang bisa diapresiasi ganda, yaitu seorang pendaki (karena ranselnya besar) yang sedang melakukan rapeling darurat, atau bisa juga sebagai seorang pemanjat tebing artikulasi yang sedang melakukan pemanjatan menginap.

Ketika angkatan Yoki Burhan baru saja diresmikan menjadi pengurus tahun 1999, saya mengajak semuanya untuk rapat. Salah satu poin bahasannya adalah logo resmi LAMPEA saat itu, yang seperti kurang baik untuk dijadikan identitas LAMPEA. “kurang baiknya adalah karena kita semua sadar dan tahu persis bagaimana proses mendapatkan gambar tersebut”, tutur saya di hadapan anggota. Waktu itu karena selain Oscard dan Pepen hampir tidak ada yang angkat bicara, saya gambarkan kembali di papan tulis logo yang sudah ada di papan yang telah terpampang di depan kantor besar -sebagai tolok ukur untuk dimulainya perdebatan. Tetapi lagi-lagi perdebatan yang diharapkan tidak terjadi dan tidak ada sanggahan sama sekali, kecuali dari Pepen yang bersikeras bahwa logo tidak boleh dirubah. Menurut Pepen yang berhak merubah hanya orang yang membuat pertama kali. “silakan forum memutuskan untuk merubah jadi apa, tapi saya tetap pada pendirian saya”, tegas Pepen. Secara umum saya puas karena yang menentang hanya seorang sedang lainnya mendukung, tapi secara moral saya masih penasaran. Semakin dewasa di kemudian hari saya semakin mengerti bahwa seharusnya LAMPEA diberi aturan resmi mengenai cara-cara menetapkan dan merubah sesuatu di organisasi secara sah, jika sewaktu-waktu diperlukan. Aturan resmi tersebut adalah Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), yang hingga tulisan ini saya ketik masih terus saya pikirkan pembentukannya.

Beberapa waktu lalu saat mengunjungi situs SMA Negeri 1 Muara Enim (www.sman1me.com), pada segmen download file, saya menemukan foto bersama anggota LAMPEA di depan Green House. Yang menarik adalah tertangkapnya juga bangunan Green House oleh lensa kamera di belakang anak-anak, sampai ke bagian atas termasuk bagian atas pintu, di mana bertengger papan berlogo rapeling revolusi yang saya buat sembilan tahun lalu itu. Artinya logo itu masih terus digunakan selama sembilan tahun terakhir? Entahlah, karena perihal seragam yang dikenakan anak-anak LAMPEA di dalam foto itu sendiri masih menjadi pertanyaan besar di hati saya.